MateriSejarah

Sejarah Muzdalifah dalam Ibadah Haji: Asal Usul, Hukum, dan Refleksi Spiritual

KBIHU Al Manar. Muzdalifah adalah salah satu tempat sakral dalam rangkaian ibadah haji. Letaknya antara Arafah dan Mina. Sepintas, tempat ini terlihat seperti hamparan padang terbuka yang tandus, namun dalam pandangan syariat dan sejarah, Muzdalifah menyimpan makna dan peristiwa agung.

Di sinilah jamaah haji bermalam selepas wukuf di Arafah, dalam suasana tenang dan penuh pengharapan.

Malam selepas wukuf di Arafah, jutaan jamaah haji serentak menuju tempat yang namanya terdengar indah: Muzdalifah.

Di sinilah jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia berhenti sejenak, meletakkan lelah, dan menghayati makna perjalanan spiritual mereka.

Seolah semesta memberi jeda, Muzdalifah menjadi malam yang tenang antara puncak Arafah dan tantangan di Mina. Tapi bagaimana sejarah dan makna tempat ini? Mari kita menyelami Muzdalifah dari berbagai sudut.

Pernahkah Anda merasa berada di tempat peralihan, antara pengalaman besar dan tugas baru yang menanti? Itulah Muzdalifah dalam konteks haji: sebuah jembatan spiritual dari Arafah ke Mina.

a. Asal Usul nama Muzdalifah

Muzdalifah (المزدلفة) berasal dari kata “Zulfa” yang berarti “mendekat”, yakni mendekat kepada Allah atau tempat yang dekat antara Arafah dan Mina.

Ada beberapa penafsiran:

  • Mendekatkan diri kepada Allah, karena tempat ini dipakai untuk berzikir dan bertakbir.
  • Mendekati Mina, tempat selanjutnya dalam rangkaian manasik.
  • Ada juga yang menyebutnya karena para jamaah datang serempak dan bersama-sama ke tempat ini selepas maghrib.

Berdasarkan sejarah, Nama lain dari muzdalifah:

  •   Al-Masy’ar al-Haram. Disebut langsung dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah: 198)
  •   Jam. Karena jamaah berkumpul dan melakukan jama’ shalat di Muzdalifah.

b. Lokasi dan Peran Geografis

Muzdalifah adalah lembah terbuka yang terletak di antara Arafah dan Mina, sekitar 8,3 km dari Arafah dan 9 km dari Mina. Wilayah ini berbentuk dataran luas yang sedikit menurun dan dikelilingi oleh bukit-bukit batu. Tidak banyak bangunan permanen di sini, karena peran utamanya adalah menjadi tempat mabit (bermalam) jamaah haji pada malam 10 Dzulhijjah.

Muzdalifah terbagi menjadi tiga wilayah utama: Mash’aril Haram (tempat suci), Quzah (sebuah bukit), dan wilayah umum lainnya. Di sinilah jamaah mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah dan melaksanakan ibadah sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW

c. Tempat Memiliki Sejarah di Muzdalifah

Tempat paling menonjol di Muzdalifah adalah Al-Mash’ar Al-Haram, yakni sebuah bukit kecil yang dulunya menjadi tempat Nabi Muhammad saw berdoa di malam Muzdalifah hingga menjelang fajar.

Hari ini, tempat itu ditandai dengan menara dan masjid kecil yang juga dinamakan Masjid Al-Mash’ar Al-Haram. Di sekitar wilayah itu, jamaah banyak berhenti untuk bermunajat dan mengambil kerikil.

d. Perkembangan Muzdalifah: Modernisasi dan Mobilisasi Massal

Muzdalifah kini telah dilengkapi dengan penerangan, jalur kendaraan, dan sistem pengamanan untuk kelancaran arus jamaah. Jalanan beraspal, tenda darurat, hingga pembatas jalan menjadi pemandangan umum.

Namun, tantangan masih ada. Karena lokasi yang terbatas dan jamaah yang banyak, pengaturan logistik dan tempat bermalam masih menjadi pekerjaan besar otoritas Saudi.

a.  Al-Qur’an

Surah Al-Baqarah (2): 198

“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (kepada-Nya) sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu…”

Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menegaskan bahwa:

  • Al-Masy’ar Al-Haram adalah Muzdalifah.
  • Ayat ini menekankan perintah berdzikir di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah.

b. Hadits Nabi SAW

Hadits Jabir bin Abdullah (HR. Muslim)

Kemudian Rasulullah SAW berangkat dari Arafah hingga tiba di Muzdalifah. Di sana beliau shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah. Tidak melakukan shalat sunnah di antara keduanya, lalu beliau tidur hingga subuh…”

Hadits tentang pengambilan batu (HR. Muslim)

“Rasulullah SAW tidak mengambil batu untuk jumrah kecuali dari Muzdalifah.”

Hadits rukhshah (keringanan) (HR. Bukhari-Muslim)

“Asma’ binti Abi Bakr berangkat dari Muzdalifah ke Mina pada malam hari karena membawa perempuan lemah, dan Nabi tidak melarangnya.”

c. Muzdalifah dan Hukum Islam

Mabit di Muzdalifah merupakan rukun atau wajib haji menurut mayoritas ulama: wajib menurut jumhur (mayoritas) ulama, kecuali bagi yang memiliki uzur. berdasarkan:

  • Hadits sahih: “Aku menyaksikan Rasulullah SAW ketika beliau shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah, lalu beliau tidur hingga fajar.” (HR. Muslim)
  • Al-Qur’an menyebutnya dalam QS. Al-Baqarah: 198: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram...”

Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Hanbali, mabit minimal sampai tengah malam, sedangkan menurut Malikiyah hingga fajar.

Pengambilan Kerikil. Dalam hadits lain (HR. Muslim), Nabi SAW:

“Tidak mengangkat dari Muzdalifah kecuali tujuh kerikil untuk melempar jumrah Aqabah.”

Hukum Fikih dan Konsensus Ulama

  • Wajib haji menurut mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali).
  • Yang tidak bermalam tanpa uzur wajib membayar dam.
  • Orang tua, perempuan, orang sakit boleh lebih awal ke Mina. ini menunjukkan kemudahan (taysir) dalam syariat.

Dalam Kitab Sejarah dan Fiqh

  • Al-Bidayah wan Nihayah (Ibnu Katsir): Menyebut Muzdalifah sebagai tempat ibadah utama yang diwariskan langsung oleh Nabi SAW.
  • Tarikh al-Islam (Adz-Dzahabi): Mencatat Muzdalifah sebagai bagian penting dari penguatan nilai tauhid dan persatuan umat dalam manasik haji.
  • Fiqh as-Sirah (Ramadhan al-Buthy): Menyebut Muzdalifah sebagai titik penting rekonsiliasi antara ritual dan refleksi.

d. Keutamaan Muzdalifah

Muzdalifah memiliki keutamaan sebagai tempat:

  • mabit yang disunnahkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
  • mengumpulkan kerikil, bagian dari persiapan melontar jumrah.
  • doa dan zikir yang sangat dianjurkan, terutama selepas Isya hingga fajar.
  • Dikenal sebagai Mash’aril Haram, yaitu tempat suci untuk menyadari. Makna yang dalam untuk merenung dan introspeksi.

Setiap tempat suci biasanya memiliki jejak sejarah peradaban manusia. Bagaimana Muzdalifah sebelum dan setelah datangnya Islam?

a. Masa Jahiliyah

Sebelum Islam, Muzdalifah sudah menjadi lokasi persinggahan kafilah Quraisy dan suku-suku Arab lainnya saat mereka berziarah ke Ka’bah. Namun mereka tidak menginap seperti sekarang; mereka hanya melewatinya atau singgah sebentar. Uniknya, hanya suku Quraisy yang dahulu tidak bermalam di Arafah, mereka berhenti di Muzdalifah dan menganggap diri mereka lebih mulia dari yang lain.

Dalam tradisi jahiliyah, kaum Quraisy tidak ikut wukuf di Arafah. Mereka hanya sampai Muzdalifah, merasa cukup karena mereka ahlul haram.

Dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dan Tafsir At-Thabari, disebutkan:

“Quraisy berkata: Kami tidak keluar dari Tanah Haram. Kami adalah penjaga Ka’bah.

Pada masa Jahiliah, tidak ada ritual khusus di Muzdalifah, kecuali kebiasaan Quraisy yang membedakan diri dari kaum lain. Budaya eksklusivitas ini dikikis oleh Islam. Nabi Muhammad saw menjadikan Muzdalifah sebagai simbol kesetaraan dan kepatuhan, serta tempat bertakbir dan berzikir di malam hari.

Sejak masa kenabian, budaya mabit dan mengumpulkan kerikil menjadi bagian integral dari manasik. Di sinilah nilai ritual dan spiritual dipadukan secara nyata.

b. Masa Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW menyatukan semua jamaah Quraisy dan non-Quraisy untuk wukuf di Arafah, kemudian bermalam di Muzdalifah. Ini menghapus kelebihan khusus kaum Quraisy.

Dalam Haji Wada’ (10 H), Rasulullah SAW melakukan:

  •   Mabit di Muzdalifah
  •   Jamak Maghrib dan Isya
  •   Dzikir di Masy’ar al-Haram hingga Subuh
  •   Pengambilan batu untuk jumrah dari tempat ini

Hal ini menjadi standar manasik haji Islam hingga hari ini.

Di dunia yang serba cepat, kita jarang meluangkan waktu untuk hening. Muzdalifah mengajarkan kita pentingnya hening dan refleksi setelah klimaks spiritual.

a. Tempat Hening: Titik Transisi Perjalanan Spiritual setelah Wukuf

Di Arafah, manusia berbicara banyak kepada Allah. Di Muzdalifah, manusia diam dan hanya berdzikir dalam sepi.

Hening di bawah langit terbuka menjadi ibadah yang tak bersuara, tapi bergema ke dalam hati.

Setelah wukuf di Arafah sebagai momen puncak taubat dan perenungan, Muzdalifah menjadi titik awal perjalanan pulang ke kehidupan sehari-hari dengan jiwa yang lebih bersih.

Di sini, kita tidak disibukkan dengan ibadah ritual yang berat, melainkan diam, merenung, dan berdzikir.

Ini menggambarkan bahwa keheningan pun ibadah, dan diam bisa menjadi bentuk komunikasi terdalam dengan Allah.

b. Simbol Kesetaraan 

Ribuan orang dari berbagai bangsa bermalam bersama di tempat terbuka, tanpa sekat status sosial.

Di sinilah kesetaraan hamba di hadapan Allah benar-benar dirasakan.

Dalam kehidupan modern yang penuh kompetisi, Muzdalifah menjadi pengingat bahwa:

“Pada akhirnya, semua akan kembali dalam kesetaraan: tanpa jabatan, tanpa gelar, hanya amal dan keikhlasan.”

Ribuan manusia tidur di tanah yang sama, tanpa alas khusus, tanpa pendingin atau keistimewaan. Ini pengingat bahwa: “Manusia tidak dinilai dari apa yang dia miliki, tapi dari apa yang dia bawa untuk kembali kepada Allah.”

C. Simbol Kesederhanaan

Tidak ada fasilitas mewah di Muzdalifah. Hanya tanah, debu, dan langit.

Ini mengajarkan kesederhanaan dan ketabahan, nilai yang makin langka di era konsumtif saat ini.

Refleksinya adalah Apakah kita bisa belajar tidur di atas tanah dan merasa cukup, setelah terbiasa dengan kasur empuk dan kenyamanan?

c. Pelajaran Disiplin dan Kebersamaan

Di Muzdalifah, waktu, gerak, dan irama jamaah haji diseragamkan.

Ini latihan sosial yaitu bersabar, berbagi tempat, saling membantu, dan patuh pada sistem.

d. Kerikil dan Perjuangan Melawan Diri

Batu-batu kecil diambil dari tempat ini untuk melawan “setan”.

Ini simbol melawan nafsu dan godaan tidak perlu kekuatan besar, cukup dengan kemauan dan kesadaran kecil yang konsisten.

  • Pengambilan kerikil di Muzdalifah untuk melempar jumrah di Mina adalah simbol perlawanan terhadap hawa nafsu dan bisikan setan.
  • Jamaah mengambil batu kecil, isyarat bahwa yang dibutuhkan untuk melawan keburukan bukan kekuatan besar, tapi kemauan dan kesadaran.
  • Di dunia digital dan cepat saat ini, ini mengajarkan: “Hal-hal kecil (niat, konsistensi, dzikir) bisa jadi senjata terbesar melawan godaan besar.”

Muzdalifah mengajarkan tentang spiritual dan sosial, Spiritual adalah Tempat perenungan dan dzikir setelah wukuf di Arafah; menguatkan hubungan dengan Allah setelah refleksi diri.

Sosial adalah Tempat semua jamaah berkumpul tanpa sekat,  dari raja hingga rakyat biasa, dalam kesatuan ibadah.

Muzdalifah adalah sekolah keheningan, tempat kita belajar bahwa kemenangan spiritual bukan didapat dari banyaknya kata, tapi dari dalamnya dzikir dan kuatnya kesadaran.

Muzdalifah adalah jembatan antara puncak spiritual (Arafah) dan ujian kehidupan nyata (Mina).

Setelah menangis di Arafah dan hening di Muzdalifah, mampukah kita kembali ke dunia nyata dengan semangat baru? Mampukah kita menjaga ‘dzikir’ itu setelah meninggalkan tanah suci?”

Muzdalifah mengingatkan bahwa setelah perjuangan besar (Arafah), seseorang butuh kontemplasi tenang, sebelum menghadapi tugas selanjutnya (Mina dan lontar jumrah).

Dalam konteks kehidupan: Setelah momen spiritual atau keberhasilan besar, jangan buru-buru melanjutkan langkah. Berhentilah sejenak, merenung, dan bersyukur.

Di sinilah tempat introspeksi, memperkuat niat, dan mengatur ulang semangat sebelum kembali ke kehidupan dunia nyata.


Pusat Pengembangan Madrasah dan Sekolah Islam